Category Archives: Drabble

Perubahan

Sepasang matanya berkilatan bak bintang kecil-kecil yang kalah panggung dengan purnama malam ini. Langit lapang sekali semenjak kemarau datang dan serabut awan sudah luruh semua menjadi hujan. Mungkin karena itu juga udara terasa hangat, meskipun satu-satunya yang konstan bertiup ke arahku hanya suaranya. Tawa orang-orang terus bermekaran di sekitar kami, salam rindu semerbak ditukar, dan senyumnya yang bersikeras mengikatku pada momen ini justru terasa makin asing.

Aku tak mengenal lagi tempat ini, orang-orang ini. Aku tak kenal lagi dengannya.

Perkara remeh seputar hidupku banyak ia tanyakan, seolah ia ingin mengulang lagi dongeng basi itu dari awal. Seakan ada yang takut ia lewatkan. Seakan dia perlu mempelajariku lagi dari awal. Sayangnya, aku sebatas kursi usang di haltes bus depan sekolah. Tak ada yang berubah dariku, hanya fakta bahwa halte bus makin ditinggalkan—sudah tak seramai dulu. Jadi kenapa sekarang dia bertingkah seolah kami ini sahabat karib? Kenapa dia harus duduk dan berminat pada suaraku? Aku pun tak mengerti kenapa aku tak bisa berhenti mempertanyakan kenapa, seperti kenapa aku tak menyerah saja dan menyambut kehangatannya. Yang aku rasakan bahwa keberadaanku kini berkarat. Mulutku rasanya getir setiap kali membalas senyumnya, merespons tawanya, menerima antusiasmenya.

Pada saat seperti ini, aku justru mencari-cari senyum canggungnya. Aku tak bisa berhenti mengingat bagaimana dulu kepalanya selalu gelisah mencari arah yang pas untuk menetapkan pandangan, kata-kata lirih selalu tangkas mengakhiri obrolan apa saja yang berusaha melibatkannya. Ah, dua tahun ternyata cukup untuk membuatnya bersinar. Dua tahun… dan seketika semuanya menjelma jadi sosok yang sama sekali lain. Dua tahun yang sama, kuhabiskan sia-sia.

#NPC30DWC: Pagi Ini

Awan mengetuk pintu lewat pekarangan. Ia turun melalui titik embun basah yang memantulkan cahaya pagi, menempel pada rumput liar yang belum dipotong. Lewat jendela, langit masih tampak kemerahan. Kuperhatikan tak semerah biasanya. Mungkin karena ini kemarau, matahari jadi lebih cepat merambat dan menyingkirkan sisa-sisa malam. Awan seolah mendobrak pintu, tergesa-gesa karena takut embun keburu menguap. Ia memintaku segera bangun dan keluar rumah.

Sepertinya aku tahu kenapa. Kami tak punya waktu lagi.

Kuperhatikan bagaimana langit beranjak pada warna-warna yang lain. Seiring dengan naiknya matahari, gelap terlalu cepat menjadi terang. Pagi mulai memakai aroma siang. Sebentar lagi orang-orang berseragam akan datang dan mungkin aku akan ikut perang. Mungkin aku hanya akan ikut mengumpat dari belakang. Entahlah. Mungkin aku akan cuma bisa mematung dan memohon keajaiban. Itu pun jika masih ada pertolongan bagi kaum yang tak punya uang.

Di belakangku, mereka yang sudah bangun ikut mengintip lewat jendela. Beberapa yang lain terlibat obrolan sengit soal keharusan bertahan, protes apa lagi yang bisa menghentikan laju alat-alat berat. Pada situasi ini, aku sendiri tak tahu harus memikirkan apa lagi. Kami sudah kehabisan waktu dan terlalu lelah untuk berlindung pada harapan kosong.

“Pulang?” Suaranya serak, hasil merokok semalam suntuk. Uh, sebenarnya karena itu aku jadi tak yakin dengan intonasinya.

“Kamu minta aku pulang?”

Ia mengembuskan napas panjang. “Orang tuamu akan marah kalau kamu nggak pulang.”

“Terus?”

“Ya… aku nggak mau mereka jadi marah.”

Aku menatapnya aneh. “Orang tuaku sudah marah sejak aku main dengan mahasiswa gondrong yang nggak pernah muncul di kelas.”

Dia cuma mengembuskan napas lagi, lalu setengah mengerang berkata, “Kalau kamu nggak pulang, aku nggak bisa jamin kamu aman-aman aja.”

“Aku juga nggak bisa jamin kamu aman-aman aja di sini. Maksudku, itu bukan pilihan kita. Di luar kendali kita.”

“Yakin nggak mau pulang?”

Aku menggeleng mantap. “Nanti. Nanti kalau di sini selesai. Aku mau bantu sampai selesai.”

Ia cuma mengangguk sekali, meringkas jarak kami, lalu ikut mengintip lewat jendela. Pagi ini, sepertinya kami sama-sama tak tahu harus berpikir tentang apa.


P.S. Okay, this is weird.

#NPC30DWC: Tidur

Ia mulai kehilangan hitungan. Lagu yang sama mungkin sudah diulang puluhan… atau ratusan kali, tapi matanya belum juga terpejam. Kantuk belum bisa menyeretnya ke dalam tidur meskipun kelopak matanya seperti digantungi berton-ton beban dari tadi.

Ia berguling ke kanan. Mungkin menghindari jarum jam dinding yang bergerak tepat di depan muka, mengingatkan soal waktu. Namun menghadap ke kanan artinya berhadapan dengan cicak yang bercengkrama di dinding, gelas air yang tinggal seperempat penuh, dan tabung pil tidur yang tak disentuh dari kemarin.

Ia berguling ke kiri. Lalu ke kanan. Lalu mengangkat tangan kiri untuk menggosok… tidak, tepatnya mencubit-cubit daun telinga. Mulutnya terbuka untuk ikut menyanyi. Terdengar sakit dan keras sekali karena ada suara lain sedang mengiris gendang telinganya. Kepalanya sesak dengan pikiran-pikiran kosong yang menguras habis energinya. Ia lantas merapal pelan sekali, “Tolong. Rasanya sudah seabad aku belum tidur. Sudah seabad aku tidak tidur.”

Badannya ikut bangun ketika ia makin sulit menggapai napas. Sepuluh jemari gemetar menekan keras-keras dadanya. Ia menahan hasrat untuk mencapai tabung di sisi kanan. Percuma. Ia hanya akan merasa kalah.

#NPC30DWC: Bangun

Di suatu hari tanpa sengaja…

Di suatu hari tanpa sengaja aku menyadari betapa ada banyak suara yang berkumpul di dalam rumah. Yang pertama datang dari ruang ini. Ayah masih melotot pada teve, seolah interaksi petinggi partai mampu mengundang lowongan kerja yang sudah dua tahun tak menghampiri. Ibu di sampingnya tak tampak tertarik, lebih fokus melipat baju meskipun belum genap tiga jam semenjak ia pulang kerja. Entah berapa saat kemudian, adzan yang disusul kerutan kening ibu meminta Ayah mengecilkan volume televisi. Permintaan itu sepertinya kalah nyaring atau memang sengaja diabaikan.

Perlahan tapi pasti, satu per satu suara itu becampur menjadi satu. Aku tiba-tiba mendengar sayup-sayup Bohemian Rhapsody dari kamar kakak, lalu suara ahli politik dari Universitas Indonesia mengalir tenang dari dalam teve, lalu suara ibu melipat baju, Bohemian Rhapsody lagi, ibu melipat baju lagi, hingga kemudian kurasakan kepalaku berputar-putar dan makin nyaring dengan suara-suara. Dari percampuran yang bising itu, aku mencari-cari suara ayah, ibu, kakak, dan suaraku sendiri. Mencari pertukaran kata di antara kami, monolog, atau sekadar ‘duh’ pelan yang sarat akan rasa lelah.

Apa pun.

Tak kutemukan apa pun.

Aku mengulang lagi ingatan dari tadi pagi. Mencari bunyi kantuk ibu yang harus bangun pagi dan melakukan berbagai pekerjaan rumah. Mencari gumam putus asa ayah yang sudah terlalu lama menganggur, mencari dendang percuma karena menua tanpa bisa melakukan apa-apa di rumah. Aku mencari suara kakak yang marah, bukan hanya kepulan asap rokok yang senantiasa keluar dari mulutnya. Aku berusaha mencari perdebatan di antara kami, letusan amarah, kritik, atau apa pun bunyi yang benar-benar bicara di antara kami.

Aku hanya mendengar suaraku sendiri.

Di suatu hari tanpa sengaja aku menyadari bahwa ada begitu banyak suara di rumah dan mulai mencarinya. Di hari itu juga aku menyadari betapa ramai sekaligus sepi. Betapa suara yang lain bukan suara-suara yang kucari di dalam rumah. Betapa aku hanya bisa mendengarkan suaraku bicara sendiri.

Drabble #4: Nasi Goreng

“Sudah, ngaku saja. Kamu nggak bisa bikin nasi goreng.”

Gadis itu berjinjit, mengintip cobek dan pergerakan ragu saya saat meletakkan dua siung bawang putih bersama dengan bumbu lain. Ia mendecakkan lidah, seolah segenggam merica yang saya ambil merupakan salah nalar dalam esai yang sudah tak tertolong lagi. Masalahnya ini bukan esai, dan sejak kapan pembeli boleh menunggu di sini?

“Saya ‘kan sudah bilang, tugas saya bukan bikin nasi goreng.”

“Tapi stan kamu nggak tutup dan nasi goreng masih ada di menu.”

“Tapi—“

“Tapi,” potongnya, “Tiap hari kamu makan nasi goreng! Kamu bahkan kerja di sini! Gimana bisa kamu nggak tahu bumbunya apa?”

“Tahu dari—“

“Sambil baca buku, sambil ngerjain tugas, di sela-sela kerja… kamu bahkan nggak sempat ngunyah. Kamu cuek aja makan jatah nasi goreng selama kerja di sini, abai sama yang lain. Kamu nggak tahu ‘kan di sekitar kamu jualan apa? Kamu nggak takut melewatkan semuanya dan beneran jadi robot?”

Satu detik, dua detik. Saya cuma bisa mengembuskan napas panjang. Tenggorokan saya masih sakit. Saya juga nggak mungkin terlihat marah ke pembeli. “Sebentar, saya nggak paham. Kamu kenapa marah-marah? Terus sejak kapan kamu hafal aktivitas saya? Kita saja baru pertama kali ngobrol hari ini.”

Kalau memungkinkan, mata gadis itu membulat dua kali lipat dari sekarang. “Nah, ‘kan! Kamu memang banyak nggak tahunya! Coba yang kamu lihat bukan cuma sendok dan mesin kasir, kamu pasti tahu kalau setiap hari aku makan di sini! Memangnya siapa yang kemarin ngasih kamu larutan penyegar? Kita bahkan sering duduk sebelahan di bus!”

Saya… cuma bisa melongo.

———

A/N

Ditulis untuk tantangan drabble dari sebuah komunitas, dan saya kelebihan hampir 100 kata. Ahaha. Hasilnya klise memang. Saya aja mengernyit nulisnya. Ng.

#44: Lupa

​“Sama Mas Suradi saja,” jawab Nenek setiap kali ditanya ingin tinggal di rumah Paman atau ikut Ayah tinggal di luar kota. Saat mengatakan itu, keriput di sekitar kelopak matanya akan makin kentara karena pipinya yang kendor terangkat pelan membentuk senyum. Pandangannya penuh harap. Nenek hanya ingin kembali menjalani hari dengan Mas Suradi, kembali hidup bersama Kakek.

Masalahnya, hidup sudah lama pergi dan melepaskan diri dari raga veteran Kakek.

“Sama Mas Kun aja, Bu. Nanti makan urap bareng-bareng tiap pagi.”

Lagi-lagi Nenek menggeleng lembut. “Sama Mas Suradi saja. Wong kemarin Ibu beli nasi urap, anak-anak nggak ada yang ikut makan.”

Jika memungkinkan, Paman, Ayah, dan semua yang menyesaki kamar Nenek menjadi lebih diam. Kami semua terhenyak, sesak dan serak menyerang serentak. Masih kental di ingatan mengenai kejadian nasi urap dua minggu yang lalu, saat Nenek tiba-tiba kembali membawa dua puluh bungkus nasi urap. Nenek kira anak-anaknya berkumpul, lapar dan lelah setelah seharian membantu Kakek membersihkan rumah. Yang Nenek ingat, sebelas anaknya masih remaja badung yang tak pernah puas hanya dengan satu porsi makan siang. Nenek lupa, kalau waktu telah lama berkolaborasi dengan takdir dan merenggut Kakek dalam prosesnya menciptakan saat ini. Nenek lupa, kalau aku dan remaja-remaja badung lain yang sedang berdiri dengan salah tingkah di ruang ini adalah bukti bahwa anak-anaknya telah mendirikan rumah-rumah sendiri.

Aku menelan ludah, cukup keras.

Nenek menggapai tanganku perlahan. Ucapnya lembut, “Mbak, anak saya ada sebelas. Mbak sudah menikah belum?”

Hujan Nenek Pemulung

Maka hujan mengguyur.

Nenek pemulung membungkuk kepayahan. Sudah tiga sesi ia kejar-kejaran dengan kresek yang mengejar angin. Kepalanya berdenyut dilempari hujan besar-besar. Dahinya berkerut ditampari dingin. Lagi-lagi, dunia sangat mudah mempermainkannya. Jangankan dunia, hujan saja tega berkunjung saat ini. Bahkan karungnya belum terisi setengah penuh. Tidakkah hujan melihatnya dari balik awan?

Maka hujan mengguyur.

Nenek pemulung menengadahkan kepala, menantang hujan. Dinikmatinya debasan angin; menggigil dan ia biarkan kulitnya kaku. Ia tak ingin melawan. Ia tak mau melawan. Toh ia sudah lama kalah. Semua doa yang ikut naik setiap subuh memanjat seakan kopong, lalu dimasukkan bersama cemeti-cemeti terkunci di ujung maghrib, dibuang dalam isya’ yang membisu. Terbesit di benaknya, sedang apa Tuhan sekarang?

Maka hujan mengguyur.

Tetes demi tetes yang lancip menusuki pori, gagal mengurai keriput di wajahnya yang sendu. Hatinya bergetar. Pilu. Mungkin Mikail sedang mengajarinya cara bersyukur. Mungkin Jibril sedang menasihatinya dengan himne mendung. Atau mungkin Tuhan sedang melatihnya bersabar, sambil tangan-Nya yang agung mengelusnya penuh kasih; menjaganya yang rapuh.

Maka hujan mulai berhenti mengguyur.

#36

Kilat mengajakku berkumpul bersama hujan dan rintik-rintiknya.  “Sore ini guntur akan kembali berkisah.” Senyumnya tampak jenaka saat membelah mendung. “Akan ada angin, anak-anak air, juga sisa-sisa awan yang menunggumu di langit.” Ia menyambar lagi tatkala aku mengernyit. “Datanglah. Kau tak akan kesepian.”

Tragedi #3: Menunggu

Mendung membiarkan kelabu mewarnai wajahmu. Bibirmu menarik garis datar, melengkapi redup yang sejak tadi terpancar dari kedua bola matamu. Sesekali terdengar embusan napas, pun hawa yang kauhela dalam sekali tarikan panjang. Siang kian gelap, mentari memang gemar bersembunyi. Sedang kau menunggu, kau sendirian di situ. Kau sendirian, sedang sepi menjadi satu-satunya kawan yang ikut duduk di situ.

“Sudah mulai hujan,” ucapmu lirih.

Semilir angin membawa desau berbisik ke telingamu, bergesekan dengan dedaunan kering yang menaungi dari atas ranting pohonnya. Kau menengadah, mengamati hujan bercampur daun yang berguguran. Kau melihat debu juga angin berlalu, sementara kau masihlah di situ. Menunggu.

—SELESAI—

A/N:
Coba-coba POV 2 :))
Wkwkwk

Tragedi #2: Pertemuan

Aku mencarimu.

Setapak demi setapak yang kulewati menyebar memori, harum kisah lama yang saat ini kembali kucari. Jadi kala cepat rambat bisikku kalah dengan tembok – tembok yang menghalangi kita, aku pun ragu. Bila tak kau dengar lirih ucapku panggil namamu, maka tak mungkin kita bertemu. Pun tak mungkin, aku menemukanmu.

“Rina!” Suara itu.

“Rina, kembalikan buku fisikaku!”

Ekor mataku menelisik liar, menangkap bayanganmu.  Kedua kakimu bergerak cepat, mengejar gadis lain yang mengurai derai tawa seiring dengan lincah langkahnya. Aku berhenti. Lalu kulihat gerak kakimu melambat, matamu bertemu denganku. Manik hitam bersirobok dengan gelap yang lain.

Dan sesingkat itulah pertemuan kita.

—SELESAI—

A/N:
Masih diambil dari sisa-sisa duel dalam forum yang sama. 🙂