AMMA mengembuskan napas panjang. Aku sontak melirik Rahmi yang masih asik bergulat dengan cabai keriting, bunyi pisaunya mengisi dapur dengan irama ‘tak-tak’ yang stabil. Rajangan cabaiku sendiri masih kurang dari setengah piring, sudah tak ada gairah untuk menyaingi Rahmi. Mataku beralih menempel lagi pada gerak-gerik Amma, mencari apa saja yang berubah dari sikap duduknya yang tegak atau kerutan-kerutan lembut di air mukanya yang tenang—apa saja, sungguh.
Tag Archives: Indonesia
Yang Sisa
Matahari masuk lewat celah-celah atap,
kisi jendela yang tak rapat,
dan masih tak berhasil bertatap muka dengan apa,
siapa, atau bagaimana
dan lagi-lagi mengapa angin bersikeras mengetuk pintu yang terkunci?
Kata-kata tanya bergantian pingsan,
haus dan kelaparan,
mabuk dan muntah-muntah
karena cicit tikus-tikus mati keburu bacin
padahal bunyi baru habis hari kemarin
Debu kursi mengajak matahari turun menyusur,
‘Silakan lihat tapi jangan berisik’ katanya,
Di dalam bersemayam belulang ingatan,
tawa dan berangkai-rangkai kata membangkai di lantai
Rentetan senyum menggantung pasrah di dinding,
Meringkuk ketakutan
sebab pengap pertanda tak ada harap,
sebab senyap, dan hakikatku,
uap yang hilang entah ke mana
dan lagi-lagi, apa yang sisa sehingga angin mengetuk-ngetuk pintu yang sengaja dikunci?
Yogyakarta,
30 November 2017
Daun-Daun Layu
Daun-daun layu disapu, dan
daun-daun disapu remuk, dan
daun-daun remuk
dipeluk
Angin,
yang sepoi rindunya bertiup jengah—
Akan hadir yang benar sebentar saja
Akan hati yang tegar sebentar saja
Dan daun-daun itu,
daun-daun layu,
daun-daun remuk,
berserak kotor
Daun-daun layu
remuk
tersisa serbuk
yang menyisa jengah sebab hidup—
sebab selalu sebentar saja.
Yang Gelap
Untuk Semesta,
yang gelap.
Apa cara yang paling tepat untuk pergi dan menghindari bintang berkelap-kelip mengejekku? Malamku gelap. Hari demi hari semakin kelam. Aku cuma sisa hati yang merayakan terang tawa-tawa yang telah silam.
Kalau kau samudera, ajak aku tenggelam. Kalau kau pusaran debu yang malu untuk berhenti, bawa aku ikut dan tak jadi mati.
Aku mati di sini.
Aku berakhir mendayung sendirian dengan perahu bolong yang miring ke tepi dan semakin lupa basah kuyup karena apa—keringat, air laut yang sama asin, atau air mata yang menjaga bunga-bunga gelap itu tetap subur?
Kau di mana? Aku hampir tiba pada titik terjauh, sangat jauh, hanya untuk kembali jatuh pada tanda tanya besar yang mengakhiri “Aku mau ke mana?”
Semesta, kenapa tak biarkan saja aku pergi? Aku lelah menelusur labirin. Kau cuma gemar menyamar jadi angin, meniup-niup sekacau kau ingin.
Di antara ayun-ayun nasib yang kian buta arah ini, tolong beritahu caranya keluar dari sini. Kau punya teman main lain. Aku ingin mencipta semestaku sendiri.
(Yang mungkin temaram, dan aku cuma tertinggal duka muram.)
#Written August: Saat Aku Memuisikan Aku
‘Sekali-kali, puisikan dirimu sendiri!’ Otakku memberi ide sinting.
#Written August: Foto, Surat, dan Secarik Takdir
Di sini, kudengar takdir terkikik-kikik.
Continue reading #Written August: Foto, Surat, dan Secarik Takdir
Tiba-Tiba, aku
Mendung seakan surut,
Jemari surya mengurai kepal awan itu,
lalu menyulut
muram mengharu di sudut
Biru
dan berhambur-hamburanlah,
yang sisa waktu itu
yang percuma,
persis sewaktu berdebur-debur ombak
ambruk di tepi
yang pendendam betul,
(kubang-kubang hujan pun melompat tinggi-tinggi. ‘Kami sungguh ingin kembali!’)
Sia-sia, sungguh.
Mendadak terang, mendadak biru, mendadak marah, lantas berderu lagi dengan nyanyi-nyanyi kelabu
Seakan mendadak merah dan mendadak ungu,
Mendadak tabah dan mendadak jatuh.
(dan lagi-lagi bukan angin saja, yang gemar berlalu.)
Bak mendung mendadak datang, mendadak surut
Sukmaku yang lantang, tiba-tiba ciut
Maka menjelmalah, aku
Tiba-tiba terbang, (kepakan sayapku nyalang dan beringas!)
Tiba-tiba malang, (pengecut harus mundur bergegas!)
Sia-sia, sungguh.
#Written August: Lima Belas Menit (+Random Playlist Challenge!)
Adalah akhir lain juga.
Continue reading #Written August: Lima Belas Menit (+Random Playlist Challenge!)
Drabble #4: Nasi Goreng
“Sudah, ngaku saja. Kamu nggak bisa bikin nasi goreng.”
Gadis itu berjinjit, mengintip cobek dan pergerakan ragu saya saat meletakkan dua siung bawang putih bersama dengan bumbu lain. Ia mendecakkan lidah, seolah segenggam merica yang saya ambil merupakan salah nalar dalam esai yang sudah tak tertolong lagi. Masalahnya ini bukan esai, dan sejak kapan pembeli boleh menunggu di sini?
“Saya ‘kan sudah bilang, tugas saya bukan bikin nasi goreng.”
“Tapi stan kamu nggak tutup dan nasi goreng masih ada di menu.”
“Tapi—“
“Tapi,” potongnya, “Tiap hari kamu makan nasi goreng! Kamu bahkan kerja di sini! Gimana bisa kamu nggak tahu bumbunya apa?”
“Tahu dari—“
“Sambil baca buku, sambil ngerjain tugas, di sela-sela kerja… kamu bahkan nggak sempat ngunyah. Kamu cuek aja makan jatah nasi goreng selama kerja di sini, abai sama yang lain. Kamu nggak tahu ‘kan di sekitar kamu jualan apa? Kamu nggak takut melewatkan semuanya dan beneran jadi robot?”
Satu detik, dua detik. Saya cuma bisa mengembuskan napas panjang. Tenggorokan saya masih sakit. Saya juga nggak mungkin terlihat marah ke pembeli. “Sebentar, saya nggak paham. Kamu kenapa marah-marah? Terus sejak kapan kamu hafal aktivitas saya? Kita saja baru pertama kali ngobrol hari ini.”
Kalau memungkinkan, mata gadis itu membulat dua kali lipat dari sekarang. “Nah, ‘kan! Kamu memang banyak nggak tahunya! Coba yang kamu lihat bukan cuma sendok dan mesin kasir, kamu pasti tahu kalau setiap hari aku makan di sini! Memangnya siapa yang kemarin ngasih kamu larutan penyegar? Kita bahkan sering duduk sebelahan di bus!”
Saya… cuma bisa melongo.
———
A/N
Ditulis untuk tantangan drabble dari sebuah komunitas, dan saya kelebihan hampir 100 kata. Ahaha. Hasilnya klise memang. Saya aja mengernyit nulisnya. Ng.
Meranggas
Seketika ribut-ribut yang meramaikan ruang ini menemui titik. Kami masih menyandang kerutan di dahi, sedangkan tinggal segelintir yang tenggorokannya masih cukup basah untuk melanjutkan sisa ribut dalam skala bisik. Aku sendiri memilih untuk mengistirahatkan mata sambil menghayati rasa sandaran kursi yang bahkan lebih tua dari umurku—dari kayu, dibuat oleh Kakek tepat setelah aula desa selesai dibangun. Kalau bukan karena rentetan denting ponsel entah-milik-siapa yang tergeletak sembarangan di tengah meja, aku bisa jamin keheningan ini akan terasa lebih lama dari menit yang ditunjukkan oleh kedua lengan jam besar yang menjadi satu-satunya hiasan ruangan ini. Lagipula, waktu memang terasa lebih lama kalau dihabiskan tanpa menikmati diam ‘kan? Begitu pun kami di sini, sama-sama mogok bersuara tetapi juga sama-sama tenggelam dalam diam yang tidak mengenakkan.