Tag Archives: Keluarga

TENGGAT

AMMA mengembuskan napas panjang. Aku sontak melirik Rahmi yang masih asik bergulat dengan cabai keriting, bunyi pisaunya mengisi dapur dengan irama ‘tak-tak’ yang stabil. Rajangan cabaiku sendiri masih kurang dari setengah piring, sudah tak ada gairah untuk menyaingi Rahmi. Mataku beralih menempel lagi pada gerak-gerik Amma, mencari apa saja yang berubah dari sikap duduknya yang tegak atau kerutan-kerutan lembut di air mukanya yang tenang—apa saja, sungguh.

Continue reading TENGGAT

Meranggas

Seketika ribut-ribut yang meramaikan ruang ini menemui titik. Kami masih menyandang kerutan di dahi, sedangkan tinggal segelintir yang tenggorokannya masih cukup basah untuk melanjutkan sisa ribut dalam skala bisik. Aku sendiri memilih untuk mengistirahatkan mata sambil menghayati rasa sandaran kursi yang bahkan lebih tua dari umurku—dari kayu, dibuat oleh Kakek tepat setelah aula desa selesai dibangun. Kalau bukan karena rentetan denting ponsel entah-milik-siapa yang tergeletak sembarangan di tengah meja, aku bisa jamin keheningan ini akan terasa lebih lama dari menit yang ditunjukkan oleh kedua lengan jam besar yang menjadi satu-satunya hiasan ruangan ini. Lagipula, waktu memang terasa lebih lama kalau dihabiskan tanpa menikmati diam ‘kan? Begitu pun kami di sini, sama-sama mogok bersuara tetapi juga sama-sama tenggelam dalam diam yang tidak mengenakkan.

Continue reading Meranggas

#44: Lupa

​“Sama Mas Suradi saja,” jawab Nenek setiap kali ditanya ingin tinggal di rumah Paman atau ikut Ayah tinggal di luar kota. Saat mengatakan itu, keriput di sekitar kelopak matanya akan makin kentara karena pipinya yang kendor terangkat pelan membentuk senyum. Pandangannya penuh harap. Nenek hanya ingin kembali menjalani hari dengan Mas Suradi, kembali hidup bersama Kakek.

Masalahnya, hidup sudah lama pergi dan melepaskan diri dari raga veteran Kakek.

“Sama Mas Kun aja, Bu. Nanti makan urap bareng-bareng tiap pagi.”

Lagi-lagi Nenek menggeleng lembut. “Sama Mas Suradi saja. Wong kemarin Ibu beli nasi urap, anak-anak nggak ada yang ikut makan.”

Jika memungkinkan, Paman, Ayah, dan semua yang menyesaki kamar Nenek menjadi lebih diam. Kami semua terhenyak, sesak dan serak menyerang serentak. Masih kental di ingatan mengenai kejadian nasi urap dua minggu yang lalu, saat Nenek tiba-tiba kembali membawa dua puluh bungkus nasi urap. Nenek kira anak-anaknya berkumpul, lapar dan lelah setelah seharian membantu Kakek membersihkan rumah. Yang Nenek ingat, sebelas anaknya masih remaja badung yang tak pernah puas hanya dengan satu porsi makan siang. Nenek lupa, kalau waktu telah lama berkolaborasi dengan takdir dan merenggut Kakek dalam prosesnya menciptakan saat ini. Nenek lupa, kalau aku dan remaja-remaja badung lain yang sedang berdiri dengan salah tingkah di ruang ini adalah bukti bahwa anak-anaknya telah mendirikan rumah-rumah sendiri.

Aku menelan ludah, cukup keras.

Nenek menggapai tanganku perlahan. Ucapnya lembut, “Mbak, anak saya ada sebelas. Mbak sudah menikah belum?”

Ada Dusta Itu

Dusta itu ada, Ayah…
Ia adalah pahit yang tak kau lepas bersama ujar,
Adalah peluh yang tak kau seka dengan keluhan,
Adalah luka berkat tutur berserakan yang kau terima,

Adalah dusta, dan aku tak kunjung sadari.

Dusta itu ada, Ibu…
Ia hidup bersama lelah yang sembunyi dalam senyummu,
Bersama sakit yang terbungkus kesabaranmu,
Bersama perih yang seringkali kutaburi garam,

Adalah dusta, dan masih saja kutorehkan kecewa.

Ayah… Ibu…
Dusta itu mengaburkan,
Kerap aku lupa dari mana aku berasal,
Kerap aku lupa soal semua yang tak terbalas,

Karena dusta…
Dusta mengaburkan!

Maka jika cintaku mulai samar di matamu,
Jika sayang hanyalah bisik yang mulai kau rindukan,
Ada dusta, itu dusta!
Aku tetaplah dia yang selalu menyayangimu.