Tag Archives: NPC30DWC

#NPC30DWC: Tidur

Ia mulai kehilangan hitungan. Lagu yang sama mungkin sudah diulang puluhan… atau ratusan kali, tapi matanya belum juga terpejam. Kantuk belum bisa menyeretnya ke dalam tidur meskipun kelopak matanya seperti digantungi berton-ton beban dari tadi.

Ia berguling ke kanan. Mungkin menghindari jarum jam dinding yang bergerak tepat di depan muka, mengingatkan soal waktu. Namun menghadap ke kanan artinya berhadapan dengan cicak yang bercengkrama di dinding, gelas air yang tinggal seperempat penuh, dan tabung pil tidur yang tak disentuh dari kemarin.

Ia berguling ke kiri. Lalu ke kanan. Lalu mengangkat tangan kiri untuk menggosok… tidak, tepatnya mencubit-cubit daun telinga. Mulutnya terbuka untuk ikut menyanyi. Terdengar sakit dan keras sekali karena ada suara lain sedang mengiris gendang telinganya. Kepalanya sesak dengan pikiran-pikiran kosong yang menguras habis energinya. Ia lantas merapal pelan sekali, “Tolong. Rasanya sudah seabad aku belum tidur. Sudah seabad aku tidak tidur.”

Badannya ikut bangun ketika ia makin sulit menggapai napas. Sepuluh jemari gemetar menekan keras-keras dadanya. Ia menahan hasrat untuk mencapai tabung di sisi kanan. Percuma. Ia hanya akan merasa kalah.

#NPC30DWC: Bangun

Di suatu hari tanpa sengaja…

Di suatu hari tanpa sengaja aku menyadari betapa ada banyak suara yang berkumpul di dalam rumah. Yang pertama datang dari ruang ini. Ayah masih melotot pada teve, seolah interaksi petinggi partai mampu mengundang lowongan kerja yang sudah dua tahun tak menghampiri. Ibu di sampingnya tak tampak tertarik, lebih fokus melipat baju meskipun belum genap tiga jam semenjak ia pulang kerja. Entah berapa saat kemudian, adzan yang disusul kerutan kening ibu meminta Ayah mengecilkan volume televisi. Permintaan itu sepertinya kalah nyaring atau memang sengaja diabaikan.

Perlahan tapi pasti, satu per satu suara itu becampur menjadi satu. Aku tiba-tiba mendengar sayup-sayup Bohemian Rhapsody dari kamar kakak, lalu suara ahli politik dari Universitas Indonesia mengalir tenang dari dalam teve, lalu suara ibu melipat baju, Bohemian Rhapsody lagi, ibu melipat baju lagi, hingga kemudian kurasakan kepalaku berputar-putar dan makin nyaring dengan suara-suara. Dari percampuran yang bising itu, aku mencari-cari suara ayah, ibu, kakak, dan suaraku sendiri. Mencari pertukaran kata di antara kami, monolog, atau sekadar ‘duh’ pelan yang sarat akan rasa lelah.

Apa pun.

Tak kutemukan apa pun.

Aku mengulang lagi ingatan dari tadi pagi. Mencari bunyi kantuk ibu yang harus bangun pagi dan melakukan berbagai pekerjaan rumah. Mencari gumam putus asa ayah yang sudah terlalu lama menganggur, mencari dendang percuma karena menua tanpa bisa melakukan apa-apa di rumah. Aku mencari suara kakak yang marah, bukan hanya kepulan asap rokok yang senantiasa keluar dari mulutnya. Aku berusaha mencari perdebatan di antara kami, letusan amarah, kritik, atau apa pun bunyi yang benar-benar bicara di antara kami.

Aku hanya mendengar suaraku sendiri.

Di suatu hari tanpa sengaja aku menyadari bahwa ada begitu banyak suara di rumah dan mulai mencarinya. Di hari itu juga aku menyadari betapa ramai sekaligus sepi. Betapa suara yang lain bukan suara-suara yang kucari di dalam rumah. Betapa aku hanya bisa mendengarkan suaraku bicara sendiri.