TENGGAT


AMMA mengembuskan napas panjang. Aku sontak melirik Rahmi yang masih asik bergulat dengan cabai keriting, bunyi pisaunya mengisi dapur dengan irama ‘tak-tak’ yang stabil. Rajangan cabaiku sendiri masih kurang dari setengah piring, sudah tak ada gairah untuk menyaingi Rahmi. Mataku beralih menempel lagi pada gerak-gerik Amma, mencari apa saja yang berubah dari sikap duduknya yang tegak atau kerutan-kerutan lembut di air mukanya yang tenang—apa saja, sungguh.

Pasalnya seperti aroma kunyit yang dominan di penciumanku sejak Inaure meraciknya saat membuat pallumara tadi pagi, dari kemarin aku sudah mencium aroma tak beres dari cara bicara Amma kepada Etta. Seperti ada yang disembunyikan dalam bisik-bisik mereka. Ada bau-bauan yang sengaja dikaburkan, satu nama yang hilir-mudik dalam percakapan mereka, yang membuat rangkaian acara ini jadi sungguh semakin salah. Namun jangan dulu berburuk sangka. Aku masih punya waktu untuk mencari tahu. Toh Daeng Andi sudah bilang melalui Rahmi tadi pagi, bahwa memang ada yang belum disampaikan Amma padaku perihal kepentingan acara nanti malam.

“Ha! Matilah kau dimarahi Inaure kalau malas-malasan begitu!” Napas Rahmi tiba-tiba menggelitik telinga kananku, spontan kubalas dengan cubitan keras di lengan kirinya. Kalau ada yang aku benci dari sepupuku ini, itu adalah caranya berbisik. Entah sudah berapa kali kugosok telingaku, sisa napasnya akan selalu saja terasa menempel. Bayang-bayang hukuman dari Inaure, bibiku yang kondang akan suara halilintarnya itu, bahkan tak manjur menghabisi jejak napas Rahmi.

“Oi, Sinting!” olokku setengah tertawa, yang kemudian kusambung dengan serius berbisik, “Aku tak mungkin mati karena malas, tapi aku jelas akan mati penasaran kalau begini caranya. Pelit sekali kau sama sepupu sendiri.”

“Ck. Begini ya, Akko, nanti aku yang akan mati karena tak patuh dengan Daeng.”

“Amma belum bicara denganku sama sekali dari kemarin.”

“Daeng juga tak suka bicara denganmu. Napasmu bau.”

“Heh, Rahmi!” Namun gadis itu hanya tertawa sambil kembali mengadu pisau dengan cabai keriting. Dasar sappo sinting, tak bisa diandalkan! “Heh! Ini serius, Rahmi. Aku sepertinya dengar kemarin Amma menyebut nama Dimas saat bicara dengan Etta.”

“Ck, Akko. Tak baik menguping.”

“Bukan begitu, Rahmi. Kau tahu sendiri apa masalahku dengan Dimas. Orang itu menipu Amma hingga kami terpaksa berhutang pada Amaure, pada ayahmu! Belum lagi yang lain yang—“

Kata-kataku menguap di pucuk lidah, segala huruf dan bunyi-bunyian buyar saat kutangkap bayangan Amma semakin jelas dan semakin membesar. Semakin dekat dan semakin tak berbentuk. Yang kutahu, Amma sudah ada saja di hadapan kami. Air mukanya yang tenang tampak mengerut sedikit.

“Nak, Akko, ada yang ingin Amma bicarakan denganmu.”

*

Di desa kami, masih menjadi kasus langka untuk seorang anak gadis merantau jauh sampai ke luar pulau. Jumlahnya pun masih bisa dihitung dengan jari, kira-kira sampai saat ini baru ada delapan gadis yang merantau untuk menempuh pendidikan tinggi. Itu pun dua di antaranya tidak sampai menyelesaikan semester tiga, dua yang lain hanya mencicipi awal semester lima, semua karena keluarga mereka lebih menginginkan anaknya agar cepat menikah. Aku adalah salah satu dari delapan gadis desaku yang merantau untuk melanjutkan pendidikan, bagian dari empat gadis keras kepala yang belum mau disuruh memikirkan pernikahan.

Meskipun begitu, aku adalah satu-satunya yang berasal dari keluarga biasa. Etta hanya seorang pedagang sembako yang menyewa sebuah toko kecil di dekat pasar. Sementara itu, Amma hanyalah lulusan SMA yang kadang-kadang dimintai tolong menjadi juru masak apabila ada tetangga yang mengadakan hajatan. Itu pun tak terlalu berpengaruh pada penghasilan Etta. Bisa dikatakan, keputusan batuku untuk tetap melanjutkan kuliah menjadi penyebab jarangnya hidangan daging tersaji di tengah meja makan kami. Itu juga menjadi alasan mengapa selalu ada perasaan waswas dan atmosfer kaku yang menguar dari Amma ketika aku pulang setahun sekali.

Apalagi semenjak malapetaka bernama Dimas itu.

Amma berubah menjadi sosok yang semakin jauh, semakin tegak sikap badannya. Semakin tak ragu memalingkan muka saat aku menceritakan keseharian di perantauan. Amma jadi semakin tenang air mukanya, sulit dibaca dan sulit diajak tertawa. Alih-alih melepas rindu, interaksi kami selalu berhenti pada kursi yang ditarik menjauh. Selalu putus pada tatapan lurus Amma yang absen emosi, tetapi menusuk.

Tepat seperti saat ini, Amma di kursinya dan aku berdiri canggung menempel dinding. Menatap lampu yang menyala silau. Meratap pada hening yang menarik kami semakin jauh, sedang huruf-huruf selalu tak punya daya di pucuk lidah yang kelu. Risau. Entah sudah berapa kali aku menghela napas.

“Amma…” Suaraku kecil, berharap cukup untuk menyentil pita suara ibuku. Kami sudah sangat cukup berbasa-basi dengan hening.

“Dengar, Akko,” Amma seketika menyerobot. “Amma minta maaf tak bisa jadi orangtua yang baik buatmu. Tetapi sungguh, Amma senang kau jadi anak pintar dan bisa sekolah tinggi. Itu juga cita-cita Amma, Akko, menyekolahkanmu yang tinggi.” Seulas senyum tipis mengangkat samar ujung-ujung bibir Amma. “Dulu, dulu sekali, Amma juga ingin sekolah tinggi. Tapi semakin Amma besar, orangtua Amma semakin kecil. Amma semakin berat dan dunia tinggal perahu bolong yang minta menepi.”

Aku menahan napas, perasaan waswas jadi genderang yang menggiring kalimat Amma selanjutnya.

“Menepi, Akko?”

Suara Amma datang seringan angin kemarau yang menerbangkan daun-daun layu, sebuah desau lembut meskipun duniaku serta-merta terjengkang ke belakang. Hanya manik mata jernih Amma yang menjagaku tak jatuh. Setelah sekian tahun, baru kali ini Amma benar-benar menatapku. Aku merasakan kepalaku bergerak dengan sendirinya, mengiyakan permintaan Amma.

Kami pun menangis, untuk alasan yang tak benar-benar berbeda.

*

Daeng Andi tersenyum-senyum saat melihatku tunduk dan membiarkan Rahmi menyapukan warna pada parasku yang biasa ini. Selepas berbicara dengan Amma tadi, Daeng Andi memang datang dengan beberapa kejutan. Pertama, bahwa acara malam ini bermaksud menyambut kepulanganku dari tanah rantau—pulang yang benar-benar pulang. Kedua, bahwa ada pemuda ‘baik’ yang ingin dikenalkan padaku seusai acara. Aku hanya bisa mendengus saat mendengar ini. Lagipula setelah menyetujui permintaan Amma tadi, aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.

Aku tak bisa lagi menghindari pernikahan di waktu dekat.

“Dia mengenal Dimas.”

“Apa? Siapa?”

Daeng Andi tertawa kecil. “Pemuda baik itu, dia teman Dimas…” Daeng Andi mengangkat sebelah tangan saat melihatku melotot bangkit dari kursi, “Eh, EH, sebentar! DIA teman Dimas yang membantu kita menjaga siri.”

“Dia orang Jawa?”

“Iya.”

“Mereka mana percaya dengan siri. Mereka tak kenal dengan siri, Daeng.”

“Dimas memang tak punya siri, Akko. Bukan berarti semua orang Jawa tak punya siri.”

Rahmi masih sibuk merapikan rambut dan riasanku untuk malam ini. Aku membaca sinar mata Daeng yang berbinar keras, memaksaku mengerti. Ini bukan perkara uang panai’ yang besar atau apa. Ini semata-mata karena Amma. Karena apa cara selain ini untuk Amma menjaga siri?

*

Dimas adalah petaka besar. Tetapi laki-laki ini bernama Damar. Ia mengangguk sopan saat Amma menggandengku untuk menemuinya pertama kali. Wajahnya standar dan bajunya biasa saja. Setidaknya dia tidak memasang gigi emas atau mandi dengan minyak wangi. Tangannya berkeringat saat aku menjabatnya. Namun yang paling mengganggu adalah apa yang dikatakannya saat Amma meninggalkan kami sendirian.

“Jangan merasa seperti aku membelimu.” Kulihat ia nyegir sedikit. Orang ini seenaknya saja bicara, tapi giginya benar-benar rapi. “Dimas memang kurang ajar, aku tak habis pikir bisa-bisanya dia berulah saat KKN di sini. Tapi tak semua orang Jawa seperti Dimas. Aku jelas tak mirip dia.” Dia tertawa kecil. “Aku ke sini hanya karena tak enak dengan keluarga Pak Andi. Soal masalah dulu, sudah tanggung jawabku membantu sebagai ketua tim. Tak usah dipikirkan.”

Dia tak berniat meminangku.

“Jangan begitu. Ini masalah siri. Kau… sudah…”

“Membantu menjaga siri keluargamu?”

“Amma tak akan bisa hidup jika tak bisa menjaga siri. Kami tak bisa.”

“Aku tak minta imbalan apapun. Aku hanya menjalankan kewajiban.”

“Kami tak memberimu apapun. Aku hanya menjaga siri keluargaku.”

Dia mengusap wajah, sebelum menepuk perlahan pundakku. Segala pikiran buruk soal sikap keras kepala Amma dan apa yang sanggup ia lakukan jika gagal menjaga siri memenuhi kepalaku.

“Sampaikan salam pada keluargamu.”

Aku bahkan sudah tak bisa melihat punggungnya menghilang di balik keramaian. Yang aku lihat adalah wajah Dimas, wajah kakakku yang dibawa kawin lari, dan air muka Amma yang keruh saat Etta menghapus nama ana’ bunge-nya dari keluarga kami. Kakak bukan hanya sudah menciderai siri-nya sendiri, tetapi rusak pula siri keluarganya.

Tanpa sadar kucicipi lagi rasa hari di masa gelap itu, benak menyelami kecewa sambil menghirup asap rokok Etta yang abai akan bisik-bisik tetangga—“Ia tak becus jadi kepala keluarga!”, “Anak sulungnya kawin lari!”

Aku mengingat toko Etta yang tutup berminggu-minggu, Amma yang puasa bicara, dan tekadku yang sekeras batu untuk merantau dan melepas paksa kekacauan rumah.

Kali ini, aku tak bisa kabur lagi.

*

Amma mengembuskan napas panjang. Napasku tercekat. Air mukanya yang tenang selaras dengan sinar rembulan yang temaram malam ini. Kami menyudahi acara dengan musik gembira yang muram. Kurasakan tangannya mengusap lembut kepalaku.

Untuk terakhir kalinya.

Malam-malam setelah ini, mungkin aku tak akan tahu lagi ada di mana. Sudah waktuku menepi. Sudah saatnya aku menanggung apa yang tak seharusnya ditanggung Amma. Rasa malu itu akan terus hidup jika masih ada aku. Toh, kali ini aku yang gagal. Amma dan Etta sudah melakukan apa pun untuk menjaga martabat diri. Lagipula, bukankah orang Jawa percaya bahwa hutang budi dibawa mati?

Siri Paranreng, Nyawa Pa Lao.

Apabila hidup sudah tak ada siri, maka nyawalah bayarannya.

 


P.S. Ditulis  di bawah tema ‘Diversity‘, tapi sepertinya melenceng. Hehehe.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s